REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Adopsi benih jagung hibrida lebih tinggi daripada benih padi hibrida. Hal itu dapat terlihat dari capaian produktivitas jagung yang lebih tinggi daripada produktivitas beras.
Padahal adopsi benih padi hibrida diharapkan mampu menjadi salah satu solusi peningkatan produktivitas beras pertanian nasional.
Statistik menunjukkan produktivitas padi berada di angka 5 ton per hektare gabah kering giling per hektare pada 2019.
Sementara itu, produktivitas jagung menunjukkan tren yang meningkat dengan capaian 5,5 ton pipilan kering per hektare pada tahun yang sama.
“Belajar dari kesuksesan peningkatan produktivitas tanaman jagung, salah satu upaya yang dapat dilakukan pemerintah untuk mendorong produktivitas tanaman padi adalah dengan meningkatkan skala penggunaan varietas unggul, khususnya padi jenis hibrida. Hingga saat ini tingkat penerimaan petani terhadap benih padi hibrida masih sangat rendah,” kata Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Aditya Alta, dalam keterangan resminya, Sabtu (25/9).
Ketimpangan produktivitas padi dan jagung antarwilayah Jawa dan luar Jawa juga merupakan isu yang penting untuk diselesaikan dalam upaya meningkatkan produktivitas nasional. Produktivitas padi dan jagung di luar Jawa lebih rendah masing-masing sekitar 23 persen dan 13 persen dibanding di Jawa.
Karena itu, peningkatan produktivitas lahan dan petani di luar Jawa, terutama di wilayah dengan produktivitas relatif rendah, harus menjadi fokus perhatian pemerintah.
Aditya menambahkan, walaupun memiliki potensi produktivitas lebih tinggi, padi hibrida tidak diminati petani karena sejumlah hal, seperti ongkos budidaya yang relatif lebih tinggi karena membutuhkan penanganan yang lebih intensif dan kekhawatiran akan menghasilkan kualitas beras yang tidak sesuai dengan preferensi konsumen.
Rendahnya adopsi varietas unggul padi hibrida dapat dijelaskan oleh beberapa faktor baik dari sisi penawaran maupun permintaan. Dari sisi penawaran, impor benih bersertifikat dilakukan dengan syarat ketersediaan pasokan dalam negeri, kapasitas produksi produsen benih swasta terbatas, serta terbatasnya penelitian dan pengembangan varietas baru yang sesuai dengan preferensi lokal.
Sementara itu dari sisi permintaan, preferensi petani, seperti terlihat pada dominannya penggunaan varietas lama di atas, tampaknya didorong dua hal.
Pertama, setiap varietas beras menghasilkan tekstur beras tertentu, dan petani menanggapi beragam preferensi konsumen terhadap beras dalam penggunaan varietas tersebut. Krishnamurti dan Biru (2019) memberikan gambaran tentang bagaimana tekstur yang disukai orang Jawa dibandingkan dengan orang Sumatra, orang-orang di Kalimantan, dan bagian lain nusantara.
“Ciherang, misalnya, menghasilkan nasi pulen yang merupakan preferensi orang Jawa. Dengan Jawa menjadi kelompok etnis yang dominan dan dengan demikian segmen konsumen yang besar, banyak petani yang mungkin melayani selera Jawa dengan menanam Ciherang,” terang Aditya.
Selanjutnya, usaha tani padi tampaknya dipengaruhi budaya atau kebiasaan petani. Beberapa petani secara budaya merasa berkewajiban untuk melestarikan varietas lokal, secara intuitif mengikuti contoh nenek moyang mereka dengan menanam benih yang sama dari generasi ke generasi, atau setidaknya enggan mencoba metode baru.
“Hal ini sangat kontras dengan jagung, di mana benih hibrida merupakan 80-90 persen dari varietas yang dibudidayakan di Indonesia (Syahruddin et al., 2020).
Jagung telah beralih dari bahan makanan pokok ke bahan baku industri, dan penggunaan jagung untuk industri dapat menjelaskan mengapa pasar benih jagung hibrida lebih mudah dikembangkan,” tambahnya.
Untuk memaksimalkan potensi padi hibrida, ada beberapa hal yang direkomendasikan CIPS. Yang pertama adalah perlu memasukkan padi hibrida ke dalam prioritas perencanaan pembangunan pertanian.
Padi hibrida memang belum dimasukkan ke dalam program utama yang terkait dengan perencanaan pembangunan pertanian dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional/RPJMN.
Riset dan pengembangan benih padi hibrida juga perlu ditingkatkan, walaupun hal ini sangat bergantung pada keahlian teknis yang tersedia di Indonesia. Pengembangan padi hibrida di Indonesia saat ini juga terkendala oleh rendahnya jumlah pakar dan penangkar yang mampu mengembangkan varietas baru.
Agar impor benih dapat digantikan secara berkelanjutan, program pembangunan manusia perlu dilakukan secara bekerjasama dengan berbagai universitas.
“Pendirian pusat penelitian di berbagai daerah di Indonesia akan memungkinkan pengembangan varietas yang sesuai dengan preferensi konsumen tertentu serta iklim dan kondisi tanah di daerah-daerah yang berpotensi menjadi sentra produksi beras dari benih hibrida,” kata Aditya.
Sumber: REPUBLIKA