Lingkup pertanian itu sangat luas, mencakup banyak sub-sektor. Salah satunya pertanian pangan. Ini juga masih luas, mencakup banyak jenis komoditas. Salah satunya padi, bahan mentah pangan beras. Agar tak meluas, tulisan ini saya fokuskan saja pada pertanian tanaman pangan padi, suatu kegiatan produktif paling strategis di Indonesia.
Pertanian padi itu "paling strategis" karena, pertama, melibatkan mayoritas penduduk sebagai pelaku. Mulai dari petani pemilik, petani pemilik-penggarap, petani penggarap sampai buruhtani. Kedua, mencakup areal baku (sawah dan darat) terluas di Indonesia.
Ketiga, dia adalah sumber utama beras, bahan pangan pokok terpenting untuk rakyat Indonesia. Terkait itu, keempat, beras adalah komoditas ekonomi, sosial, dan politik sekaligus. Stabilitas nasional sangat ditentukan tingkat akses rakyat terhadap beras.
Tapi modernisasi pertanian padi juga sangat luas cakupannya. Mulai agroindustri benih dan sarana produksi di hulu, usahatani di tengah, sampai agroindustri pengolahan hasil di hilir. Agar lebih fokus lagi, tulisan ini saya batasi i pada satu titik yang paling menentukan di hulu yaitu agroindustri perbenihan.
Ada dasar teorinya yaitu "Teori Kesejajaran Sadjad" (S. Sadjad). Teori ini menggariskan bahwa tingkat teknologi benih adalah faktor tunggal penentu tingkat kemajuan pertanian. Gampangnya, sebanyak apapun dosis pupuk dan pestisida serta volume irigasi, jika mutu benihnya buruk (genetik, patologis, fisiologis, fisik) pasti kinerja produksi pertaniannya buruk.
Implikasinya, jika target modernisasi pertanian adalah Pertanian 4.0 maka itu hanya mungkin dicapai jika agroindustri benih sudah lebih dulu berada di level Agroindustri 4.0. Sebab penghela kemajuan minimal harus selangkah di depan.
Faktanya, agroindustri benih padi nasional masih di level Agroindustri 2.0, atau paling jauh Pra-Agroindustri 3.0. Karena itu, tidak bisa lain, modernisasi pertanian padi menuju Pertanian 4.0, harus dimulai dari "revolusi benih padi", sebagai basisnya.
"Revolusi benih padi" itu adalah lompatan ke Agroindustri Benih 4.0, melalui percepatan proses dan perluasan skala kegiatan-kegiatan riset perakitan varietas, produksi massal, komersialisasi, dan adopsi benih padi super-unggul baru.
Empat Kendala Produksi Pangan
Selain pijakan teori, "revolusi benih padi" juga punya dasar fakta empiris yang berimplikasi pelipat-gandaan produksi pangan. Diperkirakan jumlah penduduk dunia tahun 2025 akan mencapai 8.5 miliar jiwa, atau 9.5 miliar tahun 2050, sebanyak 300 juta jiwa ada di Indonesia. Implikasinya, produksi pangan khususnya serealia harus dilipat-gandakan.
Negara-negara Asia diwanti-wanti agar menjadikan kemandirian produksi pangan khususnya serealia sebagai agenda prioritas. Indonesia sudah meresponnya dengan UU Pangan Nomor 18/2012 yang mengamanatkan pemenuhan pangan secara domestik.
Namun diingatkan upaya pelipat-gandaan produksi pangan itu akan dihadapkan pada empat kendala besar peningkatan produksi.
Pertama, kelangkaan sumberdaya air. Pertumbuhan penduduk dan industri meningkatkan permintaan air untuk keperluan konsumsi dan industri. Akibatnya volume air irigasi pertanian terpangkas.
Kedua, keterbatasan lahan pertanian. Pertumbuhan penduduk dan industri meningkatkan konversi lahan pertanian menjadi areal pemukiman, bisnis/perkantoran, pabrik, dan perkebunan tanaman bahan bio-fuel.
Ketiga, keterbatasan sumberdaya tak-terbarukan. Persediaan bahan mentah pupuk kimia semakin menipis sehingga peningkatan produksi pangan melalui teknologi pupuk akan terkendala. Sumberdaya fossil untuk bahan bakar juga menipis sehingga memicu peningkatan penggunaan pangan serealia sebagai bahan baku bio-fuel.
Keempat, perubahan iklim global akibat pemanasan global. Peningkatan suhu udara mengganggu pertumbuhan tanaman dan memicu perkembangan hama dan penyakit. Perubahan pola curah hujan, banjir dan kekeringan ekstrim, merusak pertanaman. Kenaikan permukaan air laut menyebabkan salinisasi lahan.
Ringkasnya peningkatan produksi pangan, khususnya padi, dihadapkan pada kendala kelangkaan air irigasi, keterbatasan lahan, keterbatasan sumberdaya tak-terbarukan, dan dampak negatif perubahan iklim global.
Dengan empat kendala itu maka dua pendekatan konvensional modernisasi pertanian untuk peningkatan produksi padi, ekstensifikasi dan intensifikasi, tidak lagi relevan. Ekstensifikasi, berupa perluasan lahan baku pertanian padi, tidak dimungkinkan karena luas ketersediaan lahan semakin mengecil.
Intensifikasi budidaya padi, berupa peningkatan jumlah asupan pupuk, pestisida, dan irigasi, juga tak dimungkinkan karena kendala keterbatasan air irigasi, kelangkaan sumberdaya terbarukan (bahan mentah pupuk), dan perubahan perilaku hama dan penyakit akibat ketakpastian iklim global.
Pada kondisi seperti itu, pendekatan yang paling relevan adalah "revolusi benih padi" . Targetnya menemukan benih padi yang mampu mengatasi empat kendala peningkatan produksi pangan tersebut.
Keharusan Revolusi Benih Padi
Sasaran besar "revolusi benih padi " adalah inovasi benih padi varietas super dengan lima nilai unggul. Pertama, produktivitasnya tinggi, minimal 10 ton gabah kering giling (GKG) per hektar, sehingga bisa menghemat penggunaan lahan.
Kedua, umurnya pendek yang memungkinkan frekuensi tanam tinggi , 2.5-3.0 kali/tahun, sehingga menghemat lahan juga. Ketiga, super-responsif pada pupuk kimia sehingga hemat penggunaan pupuk, sekaligus ramah ekologis.
Keempat, tahan cekaman abiotik seperti kekeringan, banjir, dan salinisasi akibat perubahan iklim global. Kualitas tahan kekeringan dibutuhan untuk antisipasi keterbatasan air irigasi. Kelima, tahan cekaman biotik yaitu hama dan penyakit sehingga hemat penggunaan pestisida. Kualitas ini perlu sebagai antisipasi terhadap anomali serangan hama dan penyakit akibat ketak-pastian iklim global.
Inovasi benih padi yang dimungkinkan memiliki nilai-nilai unggul itu adalah padi hibrida, padi produk rekayasa genetik (PRG) dan padi produk iradiasi nuklir (PIN).
Pertama, padi hibrida, sudah dibuktikan China sebagai solusi peningkatan produktivitas. Dengan rerata produktivitas 7.5 ton/ha (rekor percontohan 17.7 ton/ha), usahatani padi hibrida (54 persen areal) di sana menyumbang 57.5 persen produksi padi negara itu.
Indonesia kebalikannya. Sepanjang 2013-2017 rerata luas areal tanam padi hibrida per musim tanam (MT) hanya 1.2 persen. Itupun cenderung menciut dari 1.8 persen pada musim hujan (MH) 2013 menjadi 0.4 persen pada MH 2017. Kisaran produktivitasnya 7-12 ton GKG/ha. Karena sempit, kontribusinya terhadap produksi padi nasional belum signifikan.
Sampai 2013 jumlah varietaspadi hibrida yang dilepas di Indonesia tercatat 140 varietas, dari swasta dan Balitbangtan. Semuanya dengan potensi produktivitas di atas 10 ton/ha.
Tapi dari jumlah itu hanya beberapa yang berterima di kalangan petani. Antara lain SL8-SHS, Sembada, Mapan, Hipa, Intani, dan Arize. Kisaran potensi produktivitasnya 10-15 ton/ha, riil lapangan 7.5-10.5 ton/ha.
Jenis-jenis padi hibrida itu juga tahan atau agak tahan terhadap tungro, kresek (hawar daun bakteri) prototype tertentu, blas (blast), dan wereng batang cokelat biotipe tertentu. Artinya, tergolong hemat pestisida.
Kedua, padi PRG atau transgenik, berpotensi sebagai solusi untuk resistensi terhadap cekaman biotik dan abiotik.
Itu sudah terbukti dari hasil-hasil riset padi PRG Divisi Biologi Molekuler, Puslit Bioteknologi LIPI. Lewat teknologi rekayasa genetik, LIPI sudah menghasilkan sejumlah prototipe padi inbrida PRG yang tahan penggerek batang, blas, kekeringan, kebanjiran, dan salinisasi.
Tapi padi PRG di Indonesia masih kontroversi, terkait satus keamanan hayatinya. Masih harus dipastikan padi PRG itu aman lingkungan, aman pangan, dan aman pakan. Setelah itu baru bisa dikomersilkan untuk diadopsi petani.
Ketiga, padi PIN kreasi Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan), berpotensi sebagai solusi untuk produktivitas dan resistensi terhadap cekaman biotik dan abiotik. Benih padi PIN dipapari radioaktif sehingga mengalami mutasi genetik menuju sifat yang diinginkan. Misalnya produktivitas tinggi, tahan kekeringan, atau tahan hama dan penyakit.
Batan sudah merilis sedikitnya 20-an varietas padi inbrida PIN, dengan nilai unggul potensi produktivitas tinggi (8-10 ton/ha), umur pendek dan tahan wereng batang cokelat. Varietas yang sudah diadopsi petani antara lain Inpari Sidenuk, Diah Suci, dan Cilosari.
Bisa dirangkum, "revolusi benih padi" di Indonesia adalah percepatan inovasi benih padi unggul baru melalui kolaborasi teknologi hibrida, rekayasa genetik, dan iradiasi nuklir. "Revolusi" ini akan menghasilkan varietas-varietas benih padi super yang produktivitasnya tinggi, tahan cekaman abiotik dan biotik, dan hemat pupuk.
Varietas-varietas padi super itu akan menggantikan varietas-varietas lama yang sudah "tua dan lelah". Seperti Ciherang, Mekongga, IR 64, Situbagendit, Cigeulis, dan Inpari yang potensi produktivitasnya 5-8 ton/ha, riil lapangan 4-7 ton. Sehingga pertanian padi Indonesia akan memasuki era Revolusi Hijau II, melanjutkan Revolusi Hijau I tahun 1970-an.
Agroindustri Benih 4.0
"Revolusi benih padi" mengandalkan Teknologi Informasi (TI) 4.0, atau teknologi informasi digital. Mencakup sistem siber-fisik, internet untuk segala, komputasi awan, dan komputasi kognitif.
Artinya "revolusi benih padi" mengarah pada Agroindustri Benih 4.0. Teknologi informasi digital diaplikasikan sepanjang rantai pasok, mulai dari perakitan, penangkaran, sampai pengolahan benih. Kata kuncinya "presisi" di tiap mata rantai pasok. Sehingga bisa dihasilkan benih padi varietas super.
Secara khusus, aplikasi TI 4.0 pada tahap penangkaran benih mengandaikan "pertanian presisi" (precision farming). Ini pertanian digital, bersifat robotik, yang mengharuskan presisi pada setiap keputusan dan perlakuan sepanjang proses penangkaran.
Dasarnya adalah pasokan, pengolahan, dan analisis data usahatani secara digital penuh. Termasuk penggunaan data penginderaan jauh untuk mendeteksi kondisi pertanaman. Jika disepakati "benih adalah cetak biru pertanian", maka aplikasi TI 4.0 atau "pertanian presisi" dalam budidaya benih padi itu prototipe pertanian padi masa depan, pertanian padi digital.
Dihela Agroindustri Benih 4.0, dengan suatu "peta jalan" yang rigid, dalam 10 tahun ke depan pertanian padi nasional akan tiba di level Pertanian 4.0. Itulah moda pertanian yang akan menjadi idola generasi milenial dan post-milenial.
Agar sampai ke sana, pemerintah perlu mengambil tiga langkah strategis "Revolusi Benih Padi" berikut.
Pertama, menetapkan suatu kebijakan strategis "revolusi benih padi" sebagai basis modernisasi pertanian pangan padi menuju Pertanian 4.0.
Kedua, menetapkan percepatan dan perluasan skala penerapan teknologi hibrida, rekayasa genetik, dan iradiasi nuklir sebagai strategi inovasi benih-benih padi varietas super, sebagai solusi peningkatan produksi yang terkendala keterbatasan lahan dan air, kelangkaan sumberdaya terbarukan, dan dampak negatif perubahan iklim global.
Ketiga, memfasilitasi sinergi industri-industri benih dan lembaga-lembaga riset perbenihan nasional, berupa dukungan pendanaan dan regulasi, untuk mendorong percepatan inovasi benih padi super, baik hibrida maupun PRG dan PIN, sebagai basis ketahanan pangan nasional.
Melalui implementasi langkah-langkah strategis itu, niscaya "revolusi benih padi" menuju Agroindustri Benih 4.0 akan terwujud. Inilah basis, suatu "syarat harus" bagi modernisasi pertanian agar tiba di Pertanian 4.0, level penjamin kedaulatan pangan nasional .
Sumber: Kompasiana