Mayoritas penduduk Indonesia mengkonsumsi beras.
Angka konsumsi beras nasional pada 2017, menurut Badan Pusat Statistik, sekitar 111 kilogram per kapita. Indonesia adalah negara ketiga paling tinggi dalam konsumsi beras di dunia.
Total konsumsi beras hampir 30 juta ton per tahun, sedangkan produksi beras dalam negeri sekitar 32 juta ton.
Masalahnya adalah data produksi beras dan luasan sawah selama 20 tahun terakhir ini tidak pasti. Ada perbedaan data antara Kementerian Pertanian dan Badan Pusat Statistik karena metode pengukuran yang tidak sama. Padahal, informasi yang akurat dan mutakhir tentang luasnya sawah penting untuk membantu mengelola ketahanan pangan dan air.
Penelitian kami yang dipublikasi di jurnal teknologi Remote Sensing baru-baru ini memaparkan cara untuk mengetahui luasan padi secara akurat.
Kami “mengajari” komputer untuk mengenali berbagai tahap pertumbuhan padi dari citra satelit radar.
Teknologi ini telah kami uji cobakan di Malaysia (dengan sampel lebih dari 1 juta hektare) dan Indonesia (sampel 0,75 juta hektare) pada September 2016 hingga Oktober 2018.
Di Indonesia kami memetakan daerah pusat produksi beras di Bekasi, Karawang, Subang, Indramayu di provinsi Jawa Barat yang luasnya lebih dari 350.000 hektare. Informasi terperinci mengenai tahap pertumbuhan padi di setiap luasan lahan 10 meter dapat diketahui secara langsung setiap bulan.
Untuk memastikan kebenaran hasil prediksi kecerdasan buatan tersebut, kami membandingkannya dengan data survei lapangan, dan metode kami memiliki akurasi 96,5%. Kami juga bisa menggunakan kecerdasan buatan untuk meramalkan luasan pemanenan padi hingga dua bulan ke depan. Metode ini lebih hemat biaya dibanding metode survei lapangan.
Citra satelit radar
Ketergantungan kita yang tinggi pada beras sebagai makanan pokok mendorong perhatian pemerintah nasional untuk mengetahui berapa luasan padi yang ditanam, di mana padi ditanam, dan berapa yang dapat dipanen untuk memastikan ketahanan pangan.
Untuk mendapatkan informasi ini, saat ini kita masih bergantung pada survei lapangan yang memakan waktu dan mahal.
Transformasi digital yang kita namakan Soil 4.0 bisa menyediakan data yang mendukung pemantauan yang lebih cepat, dapat diandalkan, dan reguler untuk menilai produksi beras. Tantangan ini dapat diatasi sekarang dengan menggunakan satelit radar resolusi tinggi.
Ketersediaan teknologi terbaru memberikan kita data satelit radar Sentinel 1 yang dianalisis melalui komputasi awan (cloud computing) dengan algoritme kecerdasan buatan (artificial intelligence).
Dengan metode riset kami, kita bisa dengan akurat mengetahui daerah-daerah mana yang sedang ditanami padi dan tahap pertumbuhannya. Kami memperkirakan bahwa informasi ini akan tersedia dalam satu aplikasi yang bisa diakses dengan ponsel pintar.
Saat ini, di beberapa daerah di Indonesia, petak-petak sawah sedang dipetakan sehingga kepemilikan setiap petak tanah terdaftar. Digabungkan dengan data satelit, kita bisa menentukan produksi, akses kredit petani dan perbankan. Semua informasi pada level petakan sawah dapat memberikan model bisnis yang ke depan.
Tak hanya di Indonesia, metode sederhana dan kuat ini dapat dipakai di seluruh Asia Tenggara, dan dapat digunakan sebagai alternatif selain survei lapangan yang memakan waktu dan ongkos mahal.
Data terintegrasi
Dengan tersedianya teknologi ini di aplikasi ponsel pintar, pada masa depan, data ini akan terintegasi dengan kebutuhan pasar. Para petani juga dapat mengunggah informasi ke sistem aplikasi bila ada serangan hama atau penyakit, semuanya dapat dibagikan untuk diteruskan ke petani petani lain.
Tahap selanjutnya adalah mengembangkan teknologi digital yang berfokus pada informasi tanah untuk mendukung petani. Sensor cerdas dapat memperkirakan kesuburan tanah secara cepat. Para petani dapat membawa tanah mereka ke pusat kelompok tani untuk mendapatkan uji tanah cerdas. Sekali disinari, sensor cerdas akan langsung memberikan informasi nutrisi yang diperlukan oleh tanah untuk pertanian.
Teknologi ini memungkinkan para kelompok tani untuk memberikan rekomendasi pupuk yang tepat dan informasi untuk kebutuhan benih, dan informasi lainnya.
Data ini bisa digunakan untuk menentukan asuransi usaha tani padi, yakni para petani bisa mendapatkan bayaran jika terjadi kegagalan panen karena banjir, kekeringan, serangan hama dan organisme pengganggu tanaman.
Perusahaan asuransi pelaksana hanya perlu mengecek data satelit untuk mengetahui kebenaran daerah yang gagal panen. Informasi ini juga bisa membantu dalam penentuan kebutuhan subsidi pupuk, dan keputusan pertanian lainnya.
Pertanian digital
Salah satu pameran permanen di Museum Pertanian Indonesia di Kota Bogor, Jawa Barat, menampilkan visi pertanian masa depan di negara ini.
Visi tersebut menampilkan: Otomatisasi yang didukung oleh robot dengan kecerdasan buatan (artificial intelligence) di semua tingkat produksi pertanian, Pertanian Presisi (Digital Farming) yang mengelola usaha tani secara tepat berdasarkan informasi akurat dan tepat waktu, dan Sistem Informasi Manajemen yang mengelola data besar (big data) dan semua terintegasi dalam satu aplikasi di ponsel pintar.
Tantangan bagi kita adalah bagaimana menerapkan aspirasi ini, sementara sebagian besar pertanian di Indonesia diusahakan oleh petani kecil, yang menyediakan 90% produksi beras. Masing-masing petani memiliki lahan yang kurang dari 1 hektare.
Karena itu, kita perlu mendorong Indonesia dan negara Asia Tenggara lainnya yang sedang mengalami transformasi digital tidak hanya terbatas pada penggunaan telepon pintar dan pembelanjaan internet. Banyak yang optimis bahwa teknologi digital akan menggerakkan revolusi industri berikutnya dan menyaingi negara-negara Barat.
Revolusi Industri 4.0 dipromosikan di kawasan ini sebagai penggunaan strategis teknologi canggih yang dihubungkan oleh internet dan internet of things (IoT). Revolusi digital menjanjikan cara hidup, bekerja, bermain, dan berkomunikasi yang baru.
Bagian integral dari revolusi ini adalah Pertanian Digital (Digital Agriculture), yang merupakan pertanian masa depan di negara negara berkembang. Pertanian Digital juga memiliki potensi yang kuat untuk diterapkan pada pertanian skala kecil di Indonesia.
Digital Soil 4.0, IoT, dan teknologi digital sekarang sudah tersedia, dan ketersediaannya bagi petani di Indonesia akan terus tumbuh. Penggerak revolusi digital perlu melibatkan petani kecil untuk membangun ketahanan pangan dan mengurangi kerentanan usaha tani terhadap tantangan perubahan iklim.
Kita harus membangun teknologi digital sekarang dan menjadikannya bagian dari usaha pertanian.
Sumber: The Conversation