JAKARTA, KOMPAS -- Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Kesehatan meluncurkan aplikasi sistem informasi standing crop versi 2.0 atau SisCrop2.0. Sistem ini dapat memantau produktivitas dan stok padi nasional secara lebih baik dari versi sebelumnya.
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) Kementerian Pertanian Fadjry Djufry di Jakarta, Senin (18/10/2021) mengatakan, informasi terkait produktivitas padi yang tepat dan akurat sangat dibutuhkan sebagai landasan penentuan kebijakan terkait. Selama ini, teknologi yang digunakan masih belum bisa mencakup 100 persen populasi lahan sawah di Indonesia.
“Sebelumnya kita melihat kondisi lahan sawah di Indonesia hanya dengan citra satelit radar yang hanya bisa memonitor sekitar 70 persen dari luas lahan yang ada. Namun, dengan teknologi terbaru dengan menggunakan citra satelit radar kita bisa memantau 100 persen lahan sawah secara nasional,” tuturnya.
Adapun luas baku sawah di Indonesia sebesar 7,46 juta hektar. Itu tersebar di seluruh provinsi Indonesia yang meliputi sawah irigasi, sawah tadah hujan, sawah rawa, serta sawah non-rawa.
Fadjry menyampaikan, setiap jenis sawah memiliki provitas yang berbeda. Informasi mengenai provitas tersebut sangat penting untuk menghitung estimasi produksi padi nasional yang terkait pula dengan kecukupan bahan pangan bagi masyarakat.
Melalui aplikasi sistem informasi standing crop versi 2.0 atau SisCrop2.0, ia menambahkan, pemantauan terkait produktivitas padi bisa lebih baik. Selain padi, stok beras dan gabah pun bisa dipantau melalui teknologi tersebut. Perhitungannya pun lebih baik dari sistem sebelumnya karena saat ini sudah bisa menjangkau 100 persen wilayah sawah di Indonesia.
“Pengembangan akan terus dilakukan sehingga nanti monitoring tidak hanya dilakukan pada pagi, melainkan juga jagung dan kedelai,” ucap Fadjry.
Sebelumnya kita melihat kondisi lahan sawah di Indonesia hanya dengan citra satelit radar yang hanya bisa memonitor sekitar 70 persen dari luas lahan yang ada. Namun dengan teknologi terbaru dengan menggunakan citra satelit radar kita bisa memantau 100 persen.
Peneliti Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian Balitbangtan yang juga pengembang aplikasi SisCrop, Rizatus Shofiyati menuturkan, Balitbangtan telah mengembangkan teknologi remote sensing dalam pengumpulan data provitas padi sejak 1988. Pada 2014, teknologi tersebut baru digunakan secara luas untuk mendukung program yang dijalankan oleh Kementerian Pertanian.
Berbagai pengembangan pun dilakukan sehingga akhirnya sistem informasi standing crop versi satu atau SisCrop 1.0 bisa diluncurkan pada 7 Desember 2020. SisCrop 1.0 ini hanya mampu menyediakan fase tumbuh dari tanaman padi.
“Setelah dilakukan berbagai penelitian dan pengembangan, SisCrop 2.0 bisa diluncurkan. Sistem informasi terbaru ini tidak hanya mampu menyediakan fase tumbuh tanaman padi, namun juga dilengkapi data provitas padi sawah di seluruh Indonesia,” kata Rizatus.
Ia mengatakan, informasi pada SISCrop 2.0 digambarkan melalui peta interaktif secara spasial dengan data numerik berbentuk tabular dan grafik. Informasi ini diperbarui secara berkala setiap 15 hari. Saat ini, SISCrop 2.0 kini dapat diakses melalui laman web pencarian dan diharapkan bisa segera diakses melalui aplikasi mobile.
Rizatus mengatakan, upaya perbaikan masih terus dilakukan untuk meningkatkan akurasi dari data yang disajikan. Sementara ini, akurasi yang dihasilkan dari proses analisis informasi provitas padi dari sistem ini mendekati 80 persen.
Meski masih memerlukan beberapa perbaikan, ia menilai, informasi dalam SisCrop 2.0 akan sangat membantu pemangku kepentingan dalam menetapkan luas tanam, luas panem, provitas, serta estimasi produksi padi nasional. Selain Kementerian Pertanian, informasi ini juga dibutuhkan oleh kementerian/lembaga lain dalam perencanaan program nasional.
“Efisiensi pelaksanaan kegiatan strategis terutama bagi Kementerian Pertanian juga bisa diwujudkan, termasuk untuk keperluan alokasi berbagai bantuan benih, pupuk, pestisida, dan perencanaan irigasi,” tutur Rizatus.
Sumber: KOMPAS