TABLOIDSINARTANI.COM, Kutai Timur---Hama dan penyakit memang menjadi musuh bagi petani. Serangan Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT) tersebut kerap membuat petani gigit jari, karena gagal panen.
Guna mencegah serangan OPT, petani kerap menggunakan pestisida kimia. Namun kadang hasilnya kurang menggembirakan. Seperti yang dirasakan petani di Kelurahan Singa Geweh, Kecamatan Sangatta Selatan, Kabupaten Kutai Timur.
Salah satu hal yang menjadi masalah bagi petani adalah belum mampu mengendalikan serangan hama dan penyakit yang menyerang tanaman, sehingga kualitas hasil panennya cenderung rendah. Hama yang paling banyak menyerang tanaman sayuran ini adalah Thrips.
Selama ini petani masih mengandalkan pestisida kimiawi untuk mengendalikan thrips. Pertimbangannya antara lain petani menginginkan hasil yang cepat karena tidak mau mengalami kerugian dalam budidaya sayuran ini. Jika tanaman sudah terserang thrips, maka memerlukan biaya perawatan yang lebih besar.
Umumnya petani di Kelurahan Singa Geweh berbudidaya sayuran, disamping tanaman perkebunan seperti karet, kelapa sawit, maupun aren. Dapat dikatakan tanaman sayuran merupakan produk unggulan petani di kelurahan tersebut. Tanaman sayuran yang dibudidayakan antara lain bayam, kangkung, sawi, kembang kol, cabai, tomat, terong, kacang panjang, buncis, pare, oyong, selada, seledri, dan lainnya.
Pengendalian secara kimiawi tersebut, justru sangat disayangkan mengingat dampak yang ditimbulkan dari penggunaan pestisida kimia. Hal itu tidak disadari petani. Padahal jika penggunaan pestisida sudah diatas ambang batas, maka bisa menimbulkan hama tanaman menjadi resisten.
Permasalahan lainnya adalah timbulnya ledakan hama sekunder, terbunuhnya musuh alami, gangguan kesehatan, residu pestisida dan pencemaran lingkungan. Selain itu penggunaan pestisida berlebihan juga menyebabkan kondisi tanah pertanian mulai rusak.
Karena pestisida merupakan bahan beracun dan berdampak negatif, sehingga perlu dikelola dengan penuh kehati-hatian. Untuk itu pestisida yang petani gunakan harus terdaftar dan telah memiliki izin edar.
Perangkap Hama
Untuk mengendalikan hama thrips dapat dilakukan dengan menggunakan perangkap likat kuning (yellow stricky trap). Serangga umumnya tertarik dengan cahaya, warna, aroma makanan atau bau tertentu. Warna yang disukai serangga biasanya warna-warna kontras seperti warna kuning cerah.
Cara membuat perangkap likat kuning ini sangat sederhana, mudah dan cepat. Pemasangan perangkap likat kuning ini dilakukan sesuai dengan jenis tanaman yang dibudidayakan di lahan. Untuk aplikasi perangkap ini sebanyak 40 lembar/ha, dengan ketinggian disesuaikan tinggi tanaman. Hal ini dimaksudkan agar perangkap likat kuning dapat bekerja secara optimal.
Perangkap likat kuning ini tidak hanya mampu mengendalikan thrips, namun juga mampu mengendalikan beberapa hama yang sering muncul di pertanaman, seperti lalat buah, wereng, aphids, kutu, ngengat dan kepik. Sehingga tepat menjadi solusi bagi petani dalam pengendalian hama.
Likat kuning juga dapat menjadi indikator populasi hama di area pertanaman. Ketika ditemukan hama tertentu yang populasinya melebihi ambang batas, dapat segera dilakukan pengendalian hama tersebut secara khusus. Dengan perangkap likat kuning, produktivitas tanaman meningkat dan biaya pestisida sintetik dapat ditekan.Seperti diketahui pertanian menjadi salah satu sektor yang dituntut untuk tetap produktif di tengah pandemi Covid-19. "Walau dalam kondisi pandemi Covid-19, pertanian jangan berhenti, maju terus, pangan harus tersedia dan rakyat tidak boleh bermasalah soal pangan,” tegas Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo.
Secara terpisah Kepala Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Pertanian (BPPSDMP) Kementerian Pertanian, Dedi Nursyamsi juga menganjurkan agar petani senantiasa membuat secara mandiri input produksinya, seperti pupuk organik padat, pupuk organik cair dan pestisida nabati. Karena dampak positif pertanian organik dalam jangka panjang sangat menguntungkan.
Pertanian organik memiliki berbagai pilar, yaitu lingkungan, sosial termasuk didalamnya masalah kesehatan dan ekonomi. Lingkungan menjadi alasan utama dalam bertani organik.
“Bertani organik dianggap bertani yang ramah lingkungan sebab menggunakan bahan-bahan alami dan tidak menggunakan bahan kimia sintetis, khususnya pupuk dan pestisida, sehingga tidak menimbulkan pencemaran lingkungan," tutur Dedi.
Sumber: TABLOIDSINARTANI