InfoSAWIT, JAKARTA - Gubernur Kalimantan Barat, Sutarmidji sadar, mengubah ratusan desa sangat tertinggal, tak cukup mengandalkan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). Apalagi saat pandemi. Ada strategi yang harus dilakukan. Lewat kebijakan politik, ia rangkul asosiasi pengusaha sawit. Gagasan itu berhasil. Tiga tahun menjabat, tercipta 385 desa mandiri, dari yang semula hanya ada satu desa. Capaian ini diapresiasi Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (DPDTT), Abdul Halim Iskandar.
“Sejak perusahaan sawit masuk ke desa kami, sawit lah yang mengangkat derajat ekonomi warga kami,”demikian cerita Supriyanto kepada penulis. Dia adalah Kepala Desa Sukamulia. Desa ini berada di Kecamatan Parindu, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat. Desa ini memiliki luas 800 hektare ini, dihuni sekitar 780 Kepala Keluarga (KK) atau sekitar 3.000 jiwa. Jaraknya sekitar 180 kilometer dari Pontianak, ibu kota Kalimantan Barat.
Penulis bertemu dengannya, siang itu di sebuah warung sembari ngopi. Sebagai Jurnalis saya penasaran. Bagaimana ceritanya sawit yang bisa mengangkat derajat ekonomi warga?
Supriyanto bercerita, Desa Sukamulia dulu, adalah kawasan hutan belantara dan semak. Baru pada 1980, Presiden RI, Soeharto, memilih desa ini untuk program transmigrasi. Sekitar 400 warga asal Jawa Tengah dan Jawa Barat, dikirim ke Desa Suka Mulia untuk membuka lahan dan bercocok tanam. Supriyanto satu di antara yang ikut serta dalam program transmigrasi tersebut.
Ia ingat betul, begitu awal-awal masuk ke desa ini. Kala itu, kehidupan warga pelik. Tak ada akses jalan dan listrik. Pemerintah hanya menyediakan warga transmigrasi tempat tinggal sepetak. Serta memberi bibit tanaman dan peralatan bertani. Seperti cangkul dan arit. Warga transmigrasi hanya diajarkan bertahan hidup. Dengan berkebun palawija dan berladang.
Tapi, sejak perusahaan sawit masuk, derajat ekonomi warga terangkat, dengan menanam sawit, warga desa transmigrasi bisa menabung. Asumsinya, per Kepala Keluarga (KK) menanam sawit mandiri dengan luas satu hektare. Pendapatanya lumayan, lahan itu bisa menghasilkan 1 ton, bila harga sawit berkisar Rp 1.500/kg, setidaknya petani bisa hasilkan Rp 3 jutaan per bulan. Karena dalam sebulan, petani sawit bisa melakukan dua kali panen.
Tapi, di luar aktivitas merawat kebun sawit, warga Desa Sukamulia tetap berladang dan bercocok tanam. Dua komoditi ini hanya untuk penghasilan tambahan warga. Pada Desember 2020, Bupati Sanggau, Paulus Hadi, menempatkan Desa Sukamulia menjadi desa tangguh ekonomi dan pandemi. Disebut desa tangguh, karena desa ini mampu mengintregasikan hasil bumi dengan rumah industri dalam suatu kawasan.
Selain hadirnya petani tangguh sawit dan palawija, warga desa ini juga mampu membangun kawasan ekonomi kerakyatan. Satu di antaranya adalah pabrik pengolahan tahu dan tempe dan bakery.
Dari produksi hasil bumi yang diolah dari warga desa inilah, industri rumahan warga desa bisa menyumbang kebutuhan pangan olahan untuk Kabupaten Sanggau. “Hasilnya bisa kami rasakan, ketika pemerintah memberlakukan pembatasan wilayah, aktivitas ekonomi di desa kami tetap tangguh selama pandemi,”kelakar Supriyanto mengakhiri perbincangan siang itu.
Mengubah Status Desa
Sejak investasi sawit masuk di Kalimantan Barat (Kalbar), dalam satu dekade terakhir, acapkali, sawit dianggap belum menyumbangkan kontibusi bagi pembangunan di daerah. Kalimantan Barat dengan luas konsesi 2 juta hektare, ternyata masih menyisakan banyak desa-desa di Kalbar dengan status tertinggal dan sangat tertinggal.
Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Kalbar misalnya. Tercatat Pada 2018, hanya ada satu desa mandiri, Desa Sutera di Kecamatan Sukadana, Kabupaten Kayong Utara. Sementara, 53 desa lainnya berstatus sebagai desa maju, dan 372 desa berkembang.
Sementara status desa tertinggal masih banyak, ada 928 desa dan 677 desa berstatus sangat tertinggal. Ketika itu, wajar bila Kalimantan Barat mendapat ranking terendah ketiga se-Indonesia setelah Papua, untuk indikator Indeks Desa Membangun (IDM).
Sadar bayang-bayang masih banyak status desa tertinggal dan sangat tertinggal di pulau Borneo, Gubernur Kalimantan Barat, Sutarmidji putar otak. APBD yang dimiliki tak cukup membiayai percepatan IDM. Perlu sinergi dengan berbagai pihak. Khususnya perusahaan perkebunan.
Langkah awal perusahaan perkebunan dikumpulkan melalui asosiasi Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI). Perusahaan perkebunan diminta berpartisipasi penuhi indikator IDM. Dalam catatan penulis, ada 52 indikator yang harus dipenuhi, mengubah status desa menjadi mandiri. Perusahaan sawit kebagian dalam penyediaan infrastruktur di desa. Sedangkan TNI dan Polri, diminta bantu perkuat ketahanan pangan dan sosial, melalui program kampung tangguh.
Kerjasama itu diperkuat dengan Memorandum of Understanding (MoU). Acara digelar pada Jumat, 18 Juni 2021 lalu di Pendopo Gubernur Kalbar, antara Pemprov Kalbar dan GAPKI. Ini merupakan kerjasama pertama di Indonesia, yang melibatkan swasta dalam percepatan pembangunan desa mandiri.
Dalam MoU itu, asosiasi harus mengingatkan perusahaan, agar kewajiban Corporate Social Responsibility (CSR) benar-benar dijalankan.
Kebun sawit merujuk data Dinas Perkebunan Kalbar mencatat, alokasi kelapa sawit hingga 2025 mencapai 1,5 juta hektare, dengan komposisi luas areal sekarang 880 hektare dan jumlah produksi mencapai 1 juta ton per tahun. Dari semua total areal perkebunan sawit, jumlah petani yang dilibatkan sekitar seratus ribuan kepala keluarga.
Kesimpulan penulis, Kalimantan Barat dengan penghasil CPO kedua terbesar Indonesia, mestinya bisa menyejahterakan desa-desa di wilayah konsesi perusahaan, dengan status tertinggal menjadi mandiri.
Demi mewujudkan pembangunan itu, bisa saja Pemerintah Daerah dan perusahaan, membangun kolaborasi pendanaan. Hal itu bisa dimulai dengan membangun infrastruktur publik, seperti perbaikan jalan desa, dan pemberdayaan ekonomi masyarakat melalui pola kemitraan wirausaha.
Misalnya, pengolahan limbah sawit untuk pupuk dan pakan ternak, membentuk Masyarakat Peduli Api (MPA), ketika kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) melanda, hingga dukungan pembentukan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes).
Tujuan akhirnya jelas, bagaimana menyampaikan pesan kepada masyarakat luas, hadirnya investasi sawit berkontribusi bagi masyarakat. Sehingga menyekat ruang lingkup kepada pihak lain, yang ingin melakukan “kampanye hitam? tentang sawit.
Alhasil, kerja keras ini membuat denyut ekonomi masyarakat membaik, dan kesejahteraan meningkat dengan hadirnya pemerataan pembangunan. Tak ada lagi desa sangat tertinggal pada 2021 di Kalimantan Barat.
Optimisme ini didasari capaian 385 desa berhasil menyandang status mandiri, 456 desa maju, 910 desa berkembang, dan 280 desa dengan tertinggal selama tiga tahun ini. Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (DPDTT) Abdul Halim Iskandar takjub dan yakin, Kalbar bisa menghilangkan desa tertinggal untuk beberapa tahun ke depan.
Kembali ke cerita Supriyanto bagaimana hadirnya sawit mengubah wajah ekonomi desa. Setidaknya menggambarkan, bagaimana sebuah investasi bisa selaras dengan kesejahteraan masyarakat sekitar.
Kelapa sawit membawa perubahan besar bagi beberapa pihak yang terdampak langsung. Komoditas ini bisa mengubah hak pengusahaan lahan dan sumber daya alam. Komoditas ini juga bisa mengubah seluruh aspek ekonomi lokal. Seperti, di mana orang mendapatkan makanan, air dan bahan bangunan, serta bagaimana mereka menikmati hasil ekonomi mereka.
Pada akhirnya, komitmen pemerintah dan perusahaan lah yang menjadi kunci percepatan pembangunan desa mandiri. Pembangunan yang dimulai dari mewujudkan kesejahteraan mayarakat yang adil dan merata.
Sumber: InfoSAWIT