Jakarta, Gatra.com - Industri sawit diharapkan bisa menjadi salah satu solusi dalam penanganan perubahan iklim global yang saat ini menjadi perhatian negara-negara di dunia.
Karenanya, sektor industri agro khususnya sawit perlu melakukan mitigasi perubahan iklim global, dengan strategi memanfaatkan permintaan minyak sawit yang terus tumbuh, sembari mengurangi emisi gas rumah kaca, serta melindungi hutan dan lahan gambut.
Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono pernah mengatakan, industri kelapa sawit di Indonesia berkomitmen untuk menjadi bagian dari solusi dalam mengatasi dampak perubahan iklim.
Menurut Joko, sejak penanaman hingga produksi menjadi minyak sawit, berbagai upaya dengan menerapkan praktik-praktik ramah lingkungan terus dilakukan untuk mengurangi dampak perubahan iklim.
Seperti menerapkan zero waste dengan memanfaatkan limbah sebagai pengganti energi fosil. “Pemanfaatan limbah yang berasal dari cangkang dan serabut (fibre) sebagai bahan bakar pembangkit power plant mampu mengurangi pencemaran hingga 30%,” katanya.
Mengutip riset Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) tahun 2011-2014, unit usaha kelapa sawit menghasilkan 3,6 ton CO2 per hektar (ha). Namun di sisi lain, kebun sawit mempunyai kemampuan untuk menyerap 13,7 ton CO2 per ha.
Dalam konteks kebun, industri sawit mempunyai peran besar sebagai penyerap emisi (absorber emissions) dan bukan penyebab emisi (emitter). Ini karena masih ada selisih sebesar 10 ton per ha dalam penyerapan CO2.
“Jadi Kalau Indonesia mempunyai 10 juta kebun sawit, ada 10 juta ton CO2 yang terserap yang merupakan kontribusi perkebunan kelapa sawit untuk mengurangi dampak perubahan iklim,” kata Joko.
Kebun sawit juga diklaim memiliki kemampuan untuk memanen energi surya dan lebih efisien menghasilkan energi. Energi tersebut disimpan dalam biomaterial dan biomassa sawit sehingga sawit memiliki potensi yang besar sebagai sumber energi terbarukan dan rendah emisi.
Pengolahan minyak sawit akan menghasilkan energi biofuel generasi pertama berupa biodiesel (FAME) dan greenfuel (green diesel, green gasoline dan green avtur). Biofuel generasi pertama ini dapat dijadikan alternatif penggunaan diesel fosil, gasoline fosil, dan avtur fosil.
Namun diantara keempat produk biofuel generasi pertama, hanya biodiesel (FAME) yang telah dikembangkan dan digunakan oleh masyarakat Indonesia dan negara lainnya.
Berdasarkan kajian Euro Lex tahun 2009, biodiesel sawit mampu menghemat emisi sekitar 62 persen lebih rendah dibandingkan dengan emisi yang dihasilkan dari fosil.
Kemampuan biodiesel sawit tersebut juga lebih tinggi dibandingkan biodiesel nabati lain seperti biodiesel rapeseed (45 persen), biodiesel kedelai (40 persen), dan biodiesel bunga matahari (58 persen).
Banyak kajian ilmiah yang dilakukan para ahli juga menunjukkan kemampuan penghematan emisi oleh biodiesel sawit berkisar sebesar 40 persen hingga 71 persen.
Di sisi lain industri sawit seperti di Indonesia juga berpeluang mendapatkan penambahan nilai dari produknya apabila proaktif melakukan mitigasi perubahan iklim.
Temuan Orbitas, lembaga berbasis di Washington, D.C., Amerika Serikat, yang meneliti risiko transisi iklim untuk investor yang mendanai komoditas tropis, dalam kajian terbarunya berjudul "Climate Transition Risk Analyst Brief, Indonesia Palm Oil" menyebutkan, pelaku industri di sektor ini akan mendapat manfaat dari transisi iklim jika menerapkan model produksi yang berkelanjutan.
Dan manfaat yang bisa didapat dari aksi mitigasi itu bisa mencapai hingga US$ 9 miliar atau sekitar Rp130 triliun. Namun, tentu saja, selain peluang juga ada risiko yang akan dihadapi.
Managing Director Orbitas, Mark Kenber menjelaskan, terdapat beberapa risiko yang mungkin akan dihadapi perusahaan sawit akibat transisi iklim. Perubahan kebijakan dan hukum, inovasi dan teknologi, serta perubahan pasar akan menjadi halangan sebagai respon atas transisi iklim.
"Seluruh sektor yang terkoneksi dalam perdagangan global akan terdampak termasuk kelapa sawit,” ujar Mark dalam sesi presentasi pada peluncuran kajian dalam rangkaian forum tahunan Katadata Sustainability Action for The Future Economy (SAFE) akhir Agustus lalu.
Jadi, meskipun peluangnya cukup besar, risiko yang ditimbulkan jika bisnis sawit tidak dikelola secara berkelanjutan justru lebih besar. Laporan ini menunjukkan 76 persen lahan konsesi yang belum ditanami dan 15 persen konsesi yang sudah ditanami berisiko menjadi aset terdampar (stranded assets).
Ke depan, produsen sawit perlu punya kemampuan mengelola risiko akibat perubahan iklim ini. Dari kemampuan produksi yang efisien, kemampuan adaptasi pada perubahan, akses modal, dan efisiensi operasional yang minim menghasilkan energi buangan yang kurang baik buat lingkungan.
Sumber: Gatra