Jatim Newsroom - Cabai Jawa menjadi tambang emas bagi petani di Kecamatan Bluto di Kabupaten Sumenep, Kepulauan Madura, Jawa Timur. Kondisi lahan dataran rendah dengan ketinggian maksimum 175 m di atas permukaan laut (dpl) di Kecamatan Bluto memiliki potensi besar dalam pengembangan tanaman cabai Jawa (Piper retrofractum).
Salah seorang petani yang membudidayakan cabai Jawa adalah Rafi’ie. Tinggal di Desa Desa Bluto, Kecamatan Bluto, ia mengawali budidaya cabai Jawa tahun 1997. “Awalnya saya hanya menanam sekitar 0,5 ha. Saat ini, alhamdulillah sudah berkembang mencapai 1,5 ha,” katanya, Senin (1/2).
Cabai Jawa merupakan salah satu tanaman obat yang populer dan merupakan salah satu komoditas ekspor. Tanaman ini tumbuh merambat dan berbuah sepanjang tahun. Saat musim penghujan, panen dapat dilakukan sebanyak dua kali sebulan. Namun ketika kemarau, interval pemanenan lebih sedikit, kurang lebih hingga tiga kali pemanenan.
Karakter dari buah yang siap dipanen adalah buah yang mendekati masak fisiologis yang ditandai warna kemerahan,namun masih keras. Rafi’ie memperkirakan hasil panen kali ini mencapai lebih dari satu kuintal cabai kering atau senilai lebih dari Rp 5 juta, dengan harga cabai Jawa saat ini kisaran Rp 52 ribu/kg.
Selama musim kemarau ini, Rafi’ie berhasil memanen hampir tiga kuintal buah cabai jamu kering senilai kurang lebih Rp 14 juta. Jadi bisa dibayangkan, berapa rupiah yang bisa diraup petani cabai Jawa selama satu tahun?
Mengingat areal pertanian di daerah Bluto merupakan tanah tegalan tadah hujan, petani mengandalkan pengairan dari sumur bor. Mereka menyediakan bak air di areal pertanaman untuk menampung air, kemudian melakukan pengairan dengan dikocor.
Rafi’ie lalu mencoba menggunakan teknologi irigasi tetes (drip irrigation) yang diajarkan penyuluh pertanian pendamping dari BPP Bluto, hasilnya tanaman tetap produktif walaupun sedang kemarau.
Sementara itu menurut salah satu pengepul cabai Jawa, H. Syaiful, mengatakan, dirinya menekuni perdagangan cabai Jawa sejak tahun 1995, menggantikan orang tuanya yang sejak 1982 menjadi pengepul.
Menurutnya, tanaman cabai Jawa mencapai puncak kejayaan pada tahun 1997. Saat itu harga mencapai Rp 90 ribu/kg. Setahun kemudian harga anjlok hingga Rp 27 ribu/kg. Saat ini, harga relatif stabil berkisar antara Rp 45-52 ribu/kg.
Syaiful mengakui, cabai Jawa kering produksi petani di Kecamatan Bluto memiliki kualitas yang baik, dengan ciri ukuran besar, tanpa tangkai dan warna hitam. Cabai Jawa kering ini diperuntukan bagi eksportir di Surabaya untuk selanjutnya penjualan ke negara India, China dan beberapa negara lain.
Delly Hos Kapila, penyuluh yang mendampingi petani di Kecamatan Bluto melihat, peluang pasar masih membutuhkan bahan kering (simplisia) cabai Jawa, sehingga pengembangan cabai Jawa,khususnya di Kecamatan Bluto masih terbuka lebar. Apalagi didukung kondisi agroklimat setempat.
“Jadipetani perlu dibekali dengan cara budidaya yang tepat, agar produksi lebih maksimal dan keberlanjutan produksi tetap terjaga,” katanya.
Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo mengatakan, tantangan yang dihadapi pertanian saat ini adalah mencukupi pangan bagi seluruh rakyat Indonesia. , “Kita harus memstikan ketersediaan pangan di seluruh tanah air, baik ketersediaan barang pangan maupun ketersediaan akses untuk mendapatkannya,” ujarnya.
Sementara itu Kepala Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pertanian (BPPSDMP) Kementan, Dedi Nursyamsi mengatakan, pangan adalah masalah yang sangat utama. Masalah pangan adalah masalah hidup matinya suatu bangsa.
“Sudah waktunya petani tidak hanya mengerjakan aktivitas on farm, tapi mampu menuju ke off farm, terutama pasca panen dan olahannya. Banyak yang bisa dikerjakan untuk menaikkan nilai pertanian, khususnya pasca panen,” tegas Dedi.
Sumber: Jatim Newsroom