* Petani jagung dan padi di Sumenep, Jawa Timur, mengeluhkan hama tikus masif menyerang tanaman mereka dari saat benih sampai usia sebulan.
* Para petani ada yang memberi racun pada hama tikus pada tanaman jagung tetapi tikus-tikus itu tak juga menghilang. Masalah hama belum usai.
* Muhammad Imron Ali, peneliti di Laboratorium Satwa Liar Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, mengatakan, hama tikus pada tanaman marak, salah satu penyebab karena terjadi ketidakseimbangan ekosistem.
* Hayu Dyah Patria, ahli teknologi pangan bilang, sebelum pertanian monokultur dan tanaman hibrida marak, para petani biasa menanam tanaman pangan lain di pinggir sawah seperti sorgum, tales, atau umbi-umbian. Salah satu fungsinya, buat pakan agar tikus atau hama lain tidak merambah ke tengah lahan pertanian.
Tibliyah begitu kesal karena racun tak berhasil membunuh tikus sama sekali. Sudah tiga kali, dia memasang racun tikus di salah satu lahan pertaniannya, namun tak ada satu pun yang mati.
Dia pasang racun campur makanan hampir setiap sudut lahan, terutama di samping lubang tikus. Mengapa? Tikus-tikus makan tanaman jagung dari benih sampai berumur satu bulan, bahkan ketika sudah keluar tongkol.
Saat benih jagung baru tanam, tikus menguruk benih-benih itu dan dibawa ke pinggir lahan untuk dimakan. Saat jagung sudah tumbuh, atau berumur satu bulan, tikus-tikus menggigit pangkal batang sampai roboh, lalu membawa ke sarangnya.
Berbeda lagi saat jagung sudah keluar tongkol, tikus akan memanjat dan memakan tongkol jagung di atas batang.
“Panningah ekakan tekos, pas eobet tekossah, mangkanah tak mateh. Tekossah tak mateh sampe’ tello kale se eobet (karena dimakan tikus, lalu diracun tikusnya, ternyata tidak mati. Tikusnya tidak mati sampai tiga kali diracun),” katanya Januari lalu.
Tibliyah harus menanam benih kembali (a tajuh dalam bahasa Madura) di beberapa bagian lahan yang kosong, karena tak tumbuh atau dimakan tikus.
Dia punya dua lahan tani, satu di Desa Sera Tengah, satunya di Desa Sera Barat, Kecamatan Bluto, Sumenep. Beruntung, di lahan Sera Barat racun menuai hasil, dalam satu malam dapat tujuh tikus.
Di samping lahan Tibliyah adalah milik Moh. Jamil. Tak jauh berbeda dengan punya Tibliyah, milik jamil juga diserang tikus sejak masih benih.
“Kayaknya merata di mana-mana hama tikus, banyak keluhan mayoritas petani untuk tahun ini tikus,” kata Jamil.
Dia sudah tiga kali pasang racun di lahan taninya, 20-30 tikus terkapar. Meskipun sudah puluhan ekor mati, tikus-tikus itu belum juga habis dan masih mengganggu pertanian warga.
“Itulah tikus sekarang. Kalau dulu cuma makan bibit tapi kalau sekarang malah jagung-jagung yang sudah berumur satu bulan itu dipatahkan batangnya kayak tebu itu.”
“Satu tikus satu pohon, kalau 10 tikus, habis juga kalau gak diracun.”
Dia sudah tidak punya cara lain mengatasi hama tikus kecuali pakai racun.
Hosen, petani asal Desa Perengan Daya, Kecamatan Guluk-Guluk, Sumenep, nyaris setiap hari berjaga di lahan. Bukan hanya dari serangan tikus juga monyet, kadang landak.
Mengawasi serangan tikus tidak seperti menjaga monyet. Monyet datang waktu-waktu tertentu, sedangkan tikus tidak menentu.
Dia tanam padi ketan dan jagung dengan sistem kracakan (padi/ketan dan jagung ditanam bersamaan dalam satu lahan). Dia gunakan pola tanam tektekan (benih jagung dan padi/ketan ditanam secara silang).
“Keng e tengga’an e apabi’ tekos, buh sarah tekos dinna’ (tapi di tengah [lahan] dihabisi tikus, buh banyak tikus di sini),” katanya.
Terkadang, jagung yang dirobohkan tikus bisa sampai serangkulan orang dewasa.
Menurut Hosen, hama tikus mulai marak sejak satu tahun lalu. Pernah, seladang padi tetangganya habis kena tikus, si petani tidak sebiji pun panen. Pernah juga seladang jagung habis jadi santapan tikus.
“Eobet jen sarah!(diracun tambah parah).”
Ketidakstabilan ekosistem
Muhammad Imron Ali, peneliti di Laboratorium Satwa Liar Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, mengatakan, hama tikus marak, salah satu penyebab karena terjadi ketidakseimbangan ekosistem. Setiap hewan ada predator, terjadi siklus rantai makanan.
“Predator tikus itu bermacem-macem, ada burung: burung rapter, burung hantu. Biasa juga ular.”
Dia bilang, ular sebagai predator utama tikus kurang banyak. Bila ada warga berburu atau membunuh ular, mungkin karena merasa terancam, juga jadi salah satu sebab kekurangan sang predator itu dengan konsekuensi peningkatan populasi tikus.
Kemungkinan lain, jaminan makanan tikus berlimpah hingga mereka bisa bereproduksi lebih banyak. Menurut Imron, kemungkinan ini terjadi bila ada jagung di ladang luas. Apalagi jagung ditanam dari biji-biji lebih manis.
“Saya tidak bisa memastikan karena tidak melihat langsung,” kata Dosen Departemen Konservasi Sumber Daya Hutan, Fakultas Kehutanan, UGM itu.
Di daerah tropis, katanya, variasi tanaman yang ditanam tinggi. Sebaiknya, dalam satu lahan luas sekali tidak hanya tanam satu jenis, dipecah-pecah, karena berisiko.
“Risikonya akan seperti itu, begitu ada serangan penyakit, serangan hama, akan habis-habisan itu.”
Menurut dia, kalau tanaman lebih sedikit, dipecah-pecah, para petani lebih sedikit kehilangan secara ekonomi karena masih ada tanaman lain.
Hayu Dyah Patria, ahli teknologi pangan bilang, sebelum pertanian monokultur dan tanaman hibrida marak, para petani biasa menanam tanaman pangan lain di pinggir sawah seperti sorgum, tales, atau umbi-umbian. Salah satu fungsinya, buat pakan hama hingga tikus atau hama lain tidak merambah ke tengah lahan.
“Filosofinya berbagi lahan, berbagi makanan dengan makhluk hidup di sekitar mereka,” kata peneliti dan pendamping masyarakat dari lembaga Mantasa itu.
“Kalau sekarang petani itu berperang ya, berperang melawan tikus, berperang melawan hama. Kalau dipikir-pikir kenapa harus berperang gitu, kenapa tidak produksi makanan dengan damai.”
Supaya terjadi keseimbangan rantai makanan, katanya, perlu predator alami yang memadai. Untuk kasus tikus, kata Imron, bisa dengan ular dan burung hantu. Spesies burung hantu lumayan efisien memburu tikus adalah serak Jawa (Tyto alba).
“Itu memang efektif sekali karena ia tidak mencari tikus hanya untuk dimakan tapi membunuh untuk latihan,” katanya.
Cara ini, kata Imron, memang tidak memberikan hasil langsung seketika itu juga atau baru bisa kelihatan setelah dua tahun pertama.
Alasannya, dalam semalam, burung hantu hanya makan atau membunuh sekitar 12 atau beberapa tikus. Bila burung itu memburu setiap malam, akan terlihat pengaruhnya.
Catatannya, jangan memburu para predator. Burung hantu identik dengan setan dan makan walet adalah mitos belaka.
Dalam pengaturannya, kata Imron, di lahan-lahan itu pasang tempat tenggeran burung, bisa berupa tiang 2-3 meter. Tiang-tiang itu akan jadi tempat bertengger burung hantu sekaligus lokasi mengintai mangsa.
“Dipasang di tengah sawah. Kalau tidak ada tenggeran, akan kesulitan mencari tikus,” katanya.
Penggunaan listrik bervoltase tinggi tidak Imron anjurkan karena khawatir membunuh binatang atau serangga lain yang masih dibutuhkan. Juga demi keamanan pengguna dari sengatan listrik.
Teknologi usir hama
Ada satu tim terdiri dari dosen dan mahasiswa Departemen Teknik Elektro Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya membuat teknologi pengusir hama. Teknologi ini pakai jaring listrik dilengkapi gabungan sinar ultraviolet (UV) dan gelombang suprasonik dalam menghalau hama.
Alat pembasmi hama otomatis ini gunakan tenaga surya hingga lebih ramah lingkungan.
Angger Dzaky Hanif, mahasiswa yang tergabung dalam tim bilang, alat ini terdiri dari sensor cahaya, jaring listrik, pegusir tikus, dan panel surya sebagai sumber energi.
Sinar ultraviolet berfungsi membuat tertarik para serangga dan hama mendekati jaring listrik, saat si hama menyentuh jaring itu, ia akan mati.
Adapun gelombang ulrasonik berfungsi mendeteksi dan mengusir tikus dalam radius 120 meter. Secara keseluruhan, alat ini berukuran 100 x 60 x 240 cm.
Dzaky bilang, alat ini dilengkapi sistem keamanan. Jaring listrik alat itu dilapisi pelindung arkrilik hingga amak meski terpapar hujan dan tersentuh manusia.
“Kami juga menambahkan jaring mengamankan alat dari jangkauan anak-anak,” katanya dalam rilis Humas ITS tahun lalu.
Alat itu sudah dipakai di Desa Pranggang, Kecamatan Plosoklaten, Kediri, Jawa Timur.
SUMBER: MONGBAY