Trubus.id -- Pandemi Covid-19 berdampak pada segala sektor kehidupan, termasuk sektor pangan yang berkaitan dengan ketersediaan pangan dan gizi yang merupakan bagian penting dalam peningkatan produktivitas nasional dan perbaikan kualitas hidup masyarakat.
Melihat hal tersebut pemerintah melalui Kementerian Pertanain (Kementan) terus berupaya untuk memastikan produksi pangan cukup untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri serta menjamin harga pangan yang terjangkau bagi masyarakat, termasuk komoditas bawang merah. Pasalnya komoditas satu ini harganya kerap bergejolak.
Di tengah kenaikan harga benih bawang merah asal umbi pada musim tanam tahun ini, penggunaan benih biji menjadi pilihan terbaik bagi petani. Selain hasilnya lebih menguntungkan, ternyata bentuk bawang merah yang ditanam dengan biji disukai pasar mancanegara, terutama Thailand dan Vietnam.
Direktur Jenderal Hortikultura, Prihasto Setyanto mengungkapkan, bulan ini petani bawang merah di berbagai sentra produksi seperti Brebes, Pantura dan Nganjuk tengah memasuki musim tanam raya. Namun petani mengeluhkan tingginya tingginya harga benih bawang merah umbi. Oleh karena itu, pihaknya mendorong petani untuk menanam benih biji atau yang lebih dikenal dengan True Shallot Seed (TSS).
“Harga benih biji jauh lebih murah, produktivitasnya juga bagus. Memang butuh upaya dan waktu ekstra dibanding pakai benih umbi. Tapi ini merupakan solusi di tengah mahalnya harga benih umbi bawang merah belakangan ini,” kata pria yang akrab disapa Anton dalam siaran persnya.
Dirinya menjelaskan, Kementan intensif mendorong penanaman bawang merah, sekaligus memberikan stimulus APBN di daerah-daerah pengembangan baru.
“Kita dorong pengembangan bawang merah terutama di pulau-pulau atau daerah yang selama ini dipetakan defisit. Tujuannya agar daerah tersebut mampu memproduksi, setidaknya untuk kebutuhannya sendiri. Lebih bagus kalau bisa mendukung pasokan wilayah sekitarnya,” ungkapnya.
Kemudian, Direktur Sayuran dan Tanaman Obat, Tommy Nugraha menyebut pihaknya terus memacu produksi bawang merah, terutama di bulan-bulan yang diprediksi mengalami neraca defisit. Berdasarkan Early Warning System, secara kumulatif produksi nasional bawang merah mencukupi kebutuhan selama setahun. Hanya di bulan-bulan tertentu pasokannya perlu diantisipasi sejak dini, terutama pada Oktober hingga Desember 2020.
“Kalau sudah begini, perlu intervensi teknologi yang dapat meningkatkan produktivitas. Salah satu caranya ya kita alihkan petani menggunakan benih (bawang merah) biji,” tambahnya.
Terlebih saat ini harga benih umbi khususnya jenis Bima Brebes dinilai sangat tinggi hingga mencapai lebih dari Rp70.000 per kilogram (kg). “Jika (harga) benih segitu akan berimbas ke tingginya biaya produksi,” lanjut Tommy.
Kementan melalui Early Warning System atau EWS mensinyalir akan ada penurunan produksi bawang merah pada di bulan Oktober-Desember ini. Sehingga pemerintah melakukan upaya intervensi percepatan tanam pada Juni-Juli untuk menggenjot produksi dan pengamanan ketersediaan di masyarakat.
Di tengah tingginya harga benih umbi, Kementan mengambil langkah strategis untuk mendorong petani beralih ke benih biji atau TSS yang diketahui lebih murah dan juga menguntungkan. Tidak tanggung-tanggung, Ditjen Hortikultura fokus untuk seluruh kawasan bawang merah yang difasilitasi APBN tahun ini seluas lebih dari 1.000 hektare menggunakan benih biji.
Mengantisipasi kelangkaan dan mahalnya harga benih umbi bawang merah, terutama di wilayah sentra sepanjang Pantura, Kementan langsung menerjunkan Tim ke lapangan untuk menyosialisasikan benih biji. Tim juga membagikan bantuan benih biji untuk wilayah Indramayu dan Cirebon.
Mutiara Sari, Kasubdit Bawang Merah dan Sayuran Umbi mengatakan penggunaan benih biji sebagai salah satu cara mengefisienkan biaya produksi. Diakui, dalam beberapa bulan terakhir harga bawang merah terus menguat, sehingga berakibatharga benih umbi ikut terkerek naik.
“Untuk kebanyakan petani harganya sudah tidak terjangkau, sehingga sebagian memilih tunda tanam atau beralih tanam komoditas lain. Kalaupun dipaksakan tanam, biayanya jadi tidak efisien. Jadi sekarang momen yang tepat untuk beralih ke benih bawang merah biji,” beber Mutiara saat melakukan supervisi bawang merah di Brebes, Jawa Tengah, beberapa waktu lalu.
Sementara itu, salah seorang petani bawang merah asal Brebes yang juga aktif membudidayakan bawang merah biji selama lebih dari 10 tahun, Iyus mengatakan, masih banyak petani yang enggan beralih ke benih biji karena kendala saat persemaian.
“Di Brebes ini kebanyakan petani masih tergantung benih umbi karena belum terbiasa melakukan persemaian. Kalau sudah bisa sebenarnya mudah, memang lebih intensif saja perawatannya saat persemaian tapi total biaya produksinya jauh lebih murah dibanding bawang merah umbi. Hasilnya juga lebih menguntungkan,” tuturnya.
Jenis bawang merah biji yang banyak dikembangkan petani saat ini adalah varietas Lokananta. Produktivitasnya mencapai 15-18 ton per hektare atau lebih tinggi dibandingkan bawang merah umbi di Brebes yang rata-rata hanya 10-12 ton per hektare. Hanya saja budidaya bawang merah biji butuh tambahan waktu persemaian sekitar 42 hari sehingga total sampai panen sekitar 100 hari.
Juwari, Ketua Asosiasi Bawang Merah Indonesia yang juga penangkar bawang merah mengaku telah mencoba menanam bawang merah biji varietas Lokananta. Bentuk umbinya memang lebih membulat, tidak seperti bawang merah asal umbi yang cenderung lonjong. Namun bawang seperti ini sangat disukai konsumen di Thailand dan Vietnam.
“Kalau produksinya bisa mencapai 1.000 ton tiap tahun, bisa kita ekspor. Permintaannya dari luar negeri sangat tinggi untuk jenis bawang merah seperti ini,” tutupnya.
Sumber: Trubus