InfoSAWIT, JAKARTA - Semua mahasiswa yang belajar ilmu kehutanan pasti sangat paham bahwa budidaya kehutanan adalah silvikultur. Silvikultur adalah ilmu yang mempelajari tentang budidaya kehutanan mulai dari persemaian/pembibitan, penanaman, pemeliharaan sampai dengan pemanenan/penebangan. Prinsip dasar silvikultur dari dulu sampai sekarang tetap tidak berubah yakni diantara selang waktu antara penanaman dan pemanenan terdapat kegiatan pemeliharaan (pendangiran, penyulaman, pemupukan), penjarangan (thining) dan pemangkasan (pruning).
Tujuan utama dari budidaya tanaman hutan adalah diperolehnya hasil kayu (log) yang berkualitas tinggi berupa batang kayu yang lurus, panjang, besar, tidak cacat dan mempunyai nilai ekonomi yang tinggi sesuai dengan tujuan yang diingnkan (kayu pertukangan, bubur kertas (pulp) dan sebagainya). Kalau dalam budidaya hutan terdapat hasil hutan non kayu seperti getah, buah, rotan, madu dan lainnya, itupun bukan tujuan utama dan hanya dianggap sebagai hasil hutan ikutan saja.
Oleh karena itu, untuk memperoleh hasil hutan kayu yang berkualitas; kegiatan penjarangan dan pemangkasan dalam budidaya hutan wajib dilaksanakan. Dalam prakteknya dilapangan, pada saat dilaksanakan awal penanaman; jarak tanam dibuat serapat mungkin biasanya 3 x 2 m untuk memberikan kesempatan tumbuh anakan tanaman untuk bersaing hidup. Dalam perjalanannya anakan tumbuh menjadi pohon dewasa diperlukan kegiatan penjarangan dengan menghilangkan tanaman yang tumbuh kurang baik, tidak sehat dan kualitas kayu diperkiraan rendah dengan cara memperlebar/melonggarkan jarak tanam dan memberikan kesempatan tumbuh tanaman yang bekualitas baik untuk menjadi pohon yang baik pula.
Untuk mendapatkan pohon yang kayu lurus dan tumbuh memanjang keatas diperlukan kegiatan pemangkasan cabang dan ranting-ranting yang dianggap menghambat/mengganggu pertumbuhan batang keatas. Frekuensi kegiatan penjarangan dan pemangkasan disesuaikan dengan kebutuhan di lapangan dapat dilakukan 2-3 kali selama daur tanaman. Bagaimana dengan tanaman sawit yang oleh beberapa kalangan termasuk sebagian akademisi yang menginginkan sawit menjadi tanaman hutan?.
Perlu Diskusi Lebih Mendalam
Dalam sebuah artikel yang diterbitkan di laman InfoSAWIT (04/12/2021) mencatat, memperhatikan kondisi hutan saat ini, pohon kelapa sawit sepantasnya dapat direkomendasikan sebagai tanaman untuk keperluan reboisasi lahan-lahan terbuka yang tidak memiliki nilai konservasi, semak belukar dan hutan terlantar seperti halnya tanaman karet/HTI karet.
Alasannya, pertama, luas areal pertanian Indonesia baru mencapai 30 % (53,6 juta hektare) dari luas daratan. Padahal jumlah penduduk Indonesia telah mencapai hampi 270 juta jiwa. Artinya areal pertanian termasuk perkebunan sawit luasnya masih relatif kecil katimbang luas total areal lahan yang tersedia. Australia memiliki lahan pertanian 53 % dari luas total lahan daratan dengan penduduk kurang dari 22 juta jiwa. Brazil memiliki lahan pertanian sekitar 31 % dari total luas daratan dengan penduduk sekitar 193 juta jiwa.
Kedua, menurut catatan Kementerian Kehutanan (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK)), dari luas total hutan Indonesia seluas 130,68 juta hektare, luas tutupan hutan primer mencapai 41,3 juta hektare dan tutupan hutan sekunder mencapai 45,5 juta hektare. Sementara luas luas hutan tanaman mencapai 2,8 juta hektare dan tutupan non hutan seluas 41 juta hektare. Dengan dengan demikian bilamana ada upaya pengembangan pertanian dan perkebunan pun dapat menggunakan lahan tutupan non hutan yang masih tersedia sangan luas (41 juta hekater). Terlebih perkebunan karet, sawit dan kelapa masih memiliki sejumlah potensi yang perlu dimaksimalkan, salah satunya guna memenuhi kebutuhan kayu nasional.
Apalagi untuk kelapa sawit adalah salah satu pohon tanaman keras yang memiliki batang berkayu, apabila dilakukan perlakuan tertentu dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku kayu. Lantas melalui pengaturan replantingyang baik, potensi kayu dari batang kelapa sawit dapat memenuhi kebutuhan kayu nasional.
Ketiga, berdasarkan data penutupan kawasan hutan, Malaysia memperlakukan perkebunan tanaman keras sebagai kawasan hutan. Hal ini senada dengan definisi kawasan hutan dan beberapa LSM internasional antara lain Deforestation Watch yang menyebut bahwa Thus it could be termed that planting oil palm is establishing a planted forest in different form.
Masalahnya adalah apakah sesederhana itu memasukkan sawit dalam tanaman hutan hanya berdasarkan tiga alasan tersebut yang sebenarnya masih dapat diperdebatkan lebih panjang lagi dan belum melihat dari sisi mendasar lain seperti budidaya hutan (silvikultur), regulasi, pemahaman data dan lingkungan (ekologis/hidrologis, emisi karbon). Mari kita bahas satu persatu dari sisi lain tersebut.
Pertama, dari sisi pemahaman data sebaiknya harus utuh dan menggunakan data terbaru agar tidk terjadi bias. Menurut data tebaru dari KLHK dalam bukunya “The State Of Indonesia’s Forest 2020” terbit tahun 2020, luas hutan Indonesia 120,3 juta hektare, yang terdiri dari hutan primer 43,3 juta hektare, hutan sekunder 37,3 juta hektare, hutan tanaman 4,3 juta hektare dan kawasan hutan non tutupan hutan seluas 33,4 juta hektare.
Kawasan hutan non tutupan yang dipersoalkan seluas 33,4 juta hektare (bukan 41 juta hektare) dan menurut artikel tersebut, merupakan lahan-lahan terbuka, semak belukar dan tanah terlantar bukanlah lahan menganggur yang dapat dimanfaatkan apa saja, karena masing-masing kawasan lahan hutan tersebut mempunyai fungsi kawasan masing-masing.
Meski kawasan hutan seluas 33,4 juta hektare merupakan kawasan yang tidak mempunyai tutupan hutan (forest coverage), namun kawasan hutan tersebut masuk dalam kawasan hutan konservasi 4,5 juta hektare, hutan lindung 5,6 juta hektare, hutan produksi terbatas 5,4 juta, hutan produksi biasa 11,4 juta hektare dan hutan produksi yang dapat dikonversi seluas 6,5 juta hektare.
Menurut regulasi dibidang kehutanan, kegiatan budidaya kehutanan hanya diizinkan dalam kawasan hutan produksi saja (hutan produksi terbatas dan hutan produksi biasa) seluas 16,8 juta hektare, itupun sebagian besar telah digunakan dan dicadangkan untuk kepentingan/penggunaan lain seperti program Perhutanan Sosial seluas 12,7 juta hektare, pinjam pakai kawasan hutan untuk kepentingan non kehutanan (pertambangan, infrastrukstur dan sebagainya), diserobat oleh kebun sawit ilegal yang luasnya menurut data mencapai hampir 2 (dua) juta hektare ( dalam kawasan hutan produksi terbatas 454.849 hektare dan kawasan hutan produksi biasa 1.484.075 hektare).
Hutan produksi yang dapat dikonversi seluas 6,5 juta hektare dipersiapkan dan dicadangkan untuk kepentingan pembangunan non kehutanan melalui mekanisme pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan, tramigrasi, redistribusi lahan melalui TORA, percetakan sawah baru dan sebagainya.
Jadi, luas kawasan hutan yang tidak mempunyai tutupan hutan yang belum dikapling untuk pemanfaatan lain berkisar kurang dari 2 (dua) juta hektare. Sementara sawit ilegal dalam hutan seluas 3,1 – 3,4 juta hektare, meskipun mekanisme penyelesainnya sudah diwadahi dalam PP 24/2021, namun dalam praktiknya di lapangan tidak mudah dan sangat rumit.
Sumber: InfoSAWIT